Kamis, 05 Desember 2013

Masa-Masa Sulit di NICU

Ini adalah cerita sewaktu Aga kena "kuning" dan harus dirawat di RS. Sebagian catatan ini saya buat saat saya ada di ruang tunggu. Mencoba membunuh waktu dan membuang kepenatan lewat gadget yang mungkin juga sudah lelah mengobok-obok laman pencari google. Saya akan bercerita sesuai urutan kronologisnya ya. Mungkin akan sangat panjang. Karena saya bener-bener nggak punya ide harus memenggalnya jadi seperti apa. Semoga betah membaca sampai tuntas ya :)






***

Saya masih ingat hari Rabu waktu saya menjemur Aga dan melihat kulitnya makin menguning. Aga masih berumur 7hari. Saya panik karena suami sudah balik ke Jakarta. Saya harus membuat keputusan sendiri. Dan saya putuskan untuk membawanya ke dokter rekomendasi teman kakak saya. RS tempat dokter anak ini praktek berbeda dengan RS tempat saya melahirkan.

Dokter menganjurkan saya tes lab lagi ketika melihat kondisi Aga yang menguning mulai dari perut hingga lidahnya. Sebenernya sebelum pulang dari RS pasca melahirkan, tepatnya saat Aga berumur 3hari, Aga sudah di tes lab karena dokter agak curiga Aga menguning. Hasil lab waktu itu 8, artinya masih normal. Cuma cuaca di bulan februari memang sering mendung jadi menjemur Aga pun ngga bisa maksimal.

Sambil menunggu hasil lab, kami pun pulang. Sedihnya, malam itu juga saat hasil lab sudah keluar, suster segera menelepon saya karena billirubin Aga yang cukup tinggi:15,8. Padahal untuk bayi yang lahir normal ambang batas bilirubin yang aman adalah 12. Saya dan ibu saya pun buru-buru membawa Aga ke RS

Sesampainya di rumah sakit, Aga melalui serangkaian pendataaan dan pemeriksaan. Hingga pukul 23.00 ia masuk ke ruang NICU (Neonatal Intensif Care Unit). Ruangan itu bukan ruang rawat inap biasa. NICU semacam ruang rawat pasien khusus yang gawat dan butuh perawatan ekstra. Tidak sembarangan orang yang bisa masuk dan menjenguk. Hanya orang tua yang boleh masuk. Ada jam kunjungnya juga yang harus dipatuhi dengan ketat. Ada 2x dalam sehari. Itu pun cuma sejam. Yaitu jam 11-12. Dan jam 17-18.

Sebelum Aga diterapi sinar bluelight saya dipersilahkan untuk menyusui terlebih dahulu. Sekitar 45menit aga menyusu. Entah dia menyedot asi saya atau tidak tapi yang jelas mulutnya menempel pada puting saya. Lekat dan dekat. Saya nikmati saja. Walau saya tahu dia lebih banyak tertidur. Khawatir terlalu lama dan terapi itu tidak segera dimulai saya pun menyudahi dan melepaskan pelukan saya. Saya kuatkan diri saya sendiri karena setelah ini 24jam saya tidak akan bisa memeluknya dan menyusui secara langsung. Ini karena terapi sinar akan terhenti dan memperlama proses penyembuhannya.

Tepat jam00. Aga diterapi sinar bluelight. Saya kuatkan lagi hati saya yang remuk redam melihatnya tanpa pakaian hanya memakai selembar popok, ditempatkan dalam boks kecil lalu diterpa sinar biru. Ah tubuhmu terlalu ringkih untuk tidur sendiri tanpa pelukan ibu nak...Saya sungguh tak rela membiarkannya sendiri. Rasanya ingin menuruti emosi saya dan membawanya pulang. But I couldn't.

Saya keluar dari ruang NICU bergegas melakukan banyak hal yang jauh lebih berguna ketimbang larut dalam emosi. Hal pertama yang saya khawatirkan adalah ASI. Selama terapi Aga butuh ASI perah yang banyak. Kata suster, terapi itu membuatnya cepat merasa haus dan banyak minum. Ini bagus untuk metabolisme pembuangan bilirubin melalui urin. Saya yang baru beberapa hari menyusui ini..yang nggak punya pompa asi, yang nggak yakin punya segudang asi di kedua payudara saya ini, apalagi harus dipompa dan distok. Oh God bisakah saya??

Saya berhenti meragukan diri saya sendiri dan mulai bertindak. Mencari pompa asi. Saya butuh yang elektrik. Pikir saya waktu itu elektrik lebih mampu memerah asi saya daripada pompa manual. Tapi malam itu sudah dini hari. Pastinya nggak ada babyshop buka. Saya coba hubungi teman saya yang sudah punya anak. Tapi nihil. Untung salah satu orangtua yang juga sedang menunggui anaknya di NICU memberi tahu kalau masih bisa meminjam pompa asi ke RS.

Untunglah pompa asi itu segera saya dapatkan. Meski cuma bisa saya pinjam sementara, tak apalah. Setidaknya membantu sampai babyhop buka besok pagi. Suster jaga di ruang NICU itu mempersilakan saya memompa asi di salah satu ruang NICU. Ruangan itu bersebelahan dengan ruang tempat Aga dirawat. Antar ruang hanya berbatasan dengan kaca jadi saya pun bisa curi-curi pandang melihatnya. Sambil sesekali menengok asi yang setetes demi setetes mengisi botol kecil itu. Hampir 1jam saya berusaha memompa asi. Sakit rasanya. Mungkin saya terlalu memaksanya. Tapi sedikit lega sudah bisa menabung 80ml asi untuknya.

Saya serahkan asi saya ke suster, sambil dalam hati berpamitan ke Aga. "Ibu nggak kemana-mana Aga. Ibu tunggu di luar ya. Aga cepet sembuh ya." Ah hati saya menangis ketika menutup pintu ruang NICU dan kembali duduk di ruang tunggu. Bersandar di sofa panjang yang harus kami bagi bertiga. Saya, ibu saya, dan 1orang ibu lain yang juga sedang menunggui anaknya.

Ibu saya, sudah terlelap di sofa panjang berbalut jaket dan syal lebar yang diselimutkan di kakinya. Sedang saya masih terjaga. Sibuk mengabarkan kondisi Aga ke suami. Mengirim foto yang saya curi-curi dari balik ruangan tempat memompa asi tadi. Dan waktu pun berjalan lambat dengan mata saya yang sulit terpejam.

***

Saya habiskan waktu dengan googling. Apa itu penyakit kuning pada bayi dan bagaimana mengatasinya. Sebenarnya dari yang saya baca, penyakit ini wajar dialami bayi yang baru lahir. Karena hati bayi belum matang sehingga billirubin tidak bisa dibuang dan kadar dalam darah meningkat. Tapi kalau terlalu tinggi juga bisa bahaya. Bayi akan cenderung mengantuk dan malas menyusu. Karena malas menyusu kadar bilirubinnya pun makin sulit terbuang lewat urin. Jalan keluarnya dengan cara disinar menggunakan bluelight. Sinar ini bisa membantu menurunkan kadar bilirubin bayi yang dibuang lewat urin.

Penyakit kuning ini wajar untuk bayi baru lahir. Kalimat itu sedikit menenangkan saya dan membuang rasa bersalah saya yang masih belajar menyusui. Jujur saya memang masih bingung bagaimana meletakkan bayi agar dia nyaman menyusu, bagaimana menggelitiknya agar nggak gampang teridur saat menyusu. Semua saran sudah saya coba tapi memang sebelumnya Aga lebih senang tertidur dan hanya menyusu sebentar. Dari yang saya baca memang saat bilirubin naik ia akan cenderung mengantuk.
Ah lagi-lagi hasil browsing saya menenangkan dan bisa sedikit membuang rasa bersalah saya. Tapi beberapa orang pasti berpikiran kalo ini salah saya. Salah ibu baru yang nggak becus. Mungkin masih dimaklumi karena masih baru. Tapi tetap saja julukannya ibu baru yang nggak becus.
Ah sudahlah terserah. Saya nggak akan cuci tangan dan tetap menerima  kalo toh disalahkan saat Aga harus masuk RS karena kuning. Semua olok-olok itu saya terima. Apalagi jika semua olok-olok itu bisa ditukar dengan kesehatan Aga. Yah tapi saya cuma bisa pasrah dan meyakinkan diri kalo Aga pasti bisa melaluinya. Setiap anak sudah ditentukan garis nasibnya. Saya yang dititipi tinggal menjalankannya dan melakukan yang terbaik.


***


Hampir 12jam terlewati. Dan tibalah jam besuk. Saya kembali bisa melihatnya. Meski tak bisa menggendong, tak berani memegang (waktu hari terakhir saya baru sadar kalo boleh megang -_-") tapi melihatnya saja cukup melegakan hati. Saya lihat dia menggeliat. Mungkin bosan telentang. Mungkin juga merasa asing, aneh. Mungkin dia rindu kembali ke rahim. Mungkin dia rindu berenang di dalam ketuban. Dan saya ingin menangis memohon dia untuk nggak pernah menyesal lahir dari seorang ibu seperti saya. Saya ingin melakukan apapun yang terbaik untuknya. Mungkin...dan semoga dia rindu berada dalam dekap hangat saya. Mungkin...dan semoga dia juga rindu minum asi langsung dari payudara saya, bukan dari dot plastik imitasi yang disodorkan bidan/suster. Dan sungguh saya juga sangat rinduuu menyusuinya, memeluknya erat dalam pelukan saya. :(( 

Sungguh ini momen yang sangat menyiksa buat ibu baru seperti saya. Buat seorang wanita yang baru saja menikmati momen terindah memiliki seorang anak, menimang-nimangnya, mendapat banyak ucapan selamat, namun dalam sekejap saja kebahagiaan itu direnggut dari saya. 

Belum juga baby blues itu enyah dari otak saya, saya kembali dipukul dengan palu godam yang keras. BAMM! Rasanya ada yang berteriak lantang pada saya.."Masih maw ngeluh?? Masih maw bilang lelah?? Kalo udah lihat anak sakit gini rasanya mau melakukan segalanya asal anak sembuh kan!"

Ah, saya cuma bisa menangis.  Dan menelan tangis saya sendiri saat ada di depan Aga. Saya tau dia bisa merasakan apa yang saya rasakan. Saya sedih, tapi saya nggak ingin menangis di depannya.

***
Di jam besuk itu juga saya bisa melihat "tetangga-tetangga" Aga. Sebagian besar masih bayi. Yang berada 1 ruangan dengan Aga ada sekitar 3bayi lagi. 1bayi perempuan yang sepertinya lahir dengan secar. Dia hanya diletakkan di boks tanpa ada peralatan khusus. Sepertinya kondisinya sudah membaik dan tinggal di observasi saja. Satu lagi sepertinya laki-laki. Badannya kecilll sekali tapi sekujur tubuhnya sudah dipenuh selang. Ia ada dalam inkubator. Hanya mengenakan popok. Satu lagi juga dengan kondisi yang sama. Bedanya bayi laki-laki ini lebih sering dijenguk ayahnya yang keturunan Arab. Sang ayah sampai membawakan si bayi mp3 untuk memperdengarkan surat Yusuf. Tentunya mp3 nya di loudspeaker ya, karena ga mungkin kan bayi pake earphone. Jadi meski dipelankan dan hanya terdengar sayup-sayup Aga bisa ikut dengerin. Semoga Aga jadi lebih tenang dan homey. Karena waktu hamil dulu saya dan suami insyaAllah nggak pernah putus tiap hari membacakan surat Yusuf dan Maryam.

"Tetangga-tetangga" Aga di ruangan lain saya tidak begitu memperhatikan dgn jelas. Tapi sepertinya nggak lebih baik dari Aga. Ada yang kena tipus, batuk kronis, DB, kelainan jantung, dsb. Dari cerita-cerita yang saya dapat saat di ruang tunggu kondisi mereka bisa dibilang gawat. Beberapa pasian yang baru masuk pun nggak kalah gawatnya. Ada yang sampai sudah 10x ganti RS. Ada yang hanya untuk beberapa ml obat harus merogoh uangnya sekitar 2juta. Ada yang orangtuanya kebingungan mencari tabung oksigen untuk anaknya. Ada ibu yang pingsan di depan pintu NICU saat mengantar anaknya.  Ada yang juga sepertinya seluruh keluarga besar ikut mengantar..semua dengan ekspresi panik dan sang ibu sudah berurai air mata. Suasana NICU memang tegang dan dramatis. Saya mesti banyak-banyak bersyukur kalau melihat kondisi Aga dibanding pasien lainnya. Dan sungguh kesehatan itu nikmat yang nggak terkira.

***

Dan 24jam terlewati sudah. Penyinaran dihentikan. Aga kembali di ambil darahnya untuk tes lab lagi. Saya dengar tangisnya kencang sekali. Rasanya saya ingin memeluknya, menggendongnya, dan menenangkannya. Tapi saya tekan emosi saya. Saya tahan keinginan saya sambil berkata sendiri, sebentar lagi Aga pulang kok. Sebentar lagi saya bisa menimang-nimangnya lagi. Sebentar lagi hasil lab keluar dan Aga bisa pulang. Saya pun terus berharap hasil tes lab itu keluar dan bilirubin Aga sudah kembali normal. Tapi ternyata Allah belum selesai menguji saya. Hasil lab keluar dan billirubin Aga masih 14. Hanya turun sedikit dari kemarin. Artinya terapi itu harus dilanjutkan lagi.

Badan saya lemas. Aga belum bisa pulang. Siksaan batin saya melihatnya diterpa sinar biru belum juga usai. Saya pun cemas. Kenapa billirubin Aga cuma turun sedikit sekali. Saya pun makin resah, Ada apa dengan anak saya. Semakin panjang proses terapi artinya semakin lama pula saya tidak bisa menyentuhnya dan semakin membengkak pula biayanya. Saya cuma bisa berdoa. Mudahkanlah Ya Allah, Sembuhkanlah.

***
Akhirnya saya bisa juga bertemu dengan dokter yang menangani Aga. Saya sedikit lebih tenang setelah konsultasi secara langsung. Dari hasil wawancara dengan dokter tentang riwayat kesehatan saya dan Aga, sepertinya tidak ada indikasi alergi ataupun pengaruh obat-obatan saat hamil. Aga pun masih terlihat aktif di dalam boksnya. Dokter menganalisa lambatnya billlirubin Aga turun mungkin hanya disebabkan hati yang belum matang saja. Tapi dia masih mengkhawatirkan satu hal lagi sehingga harus cek kadar proteinnya. Kalau ternyata analisanya benar berarti Aga memerlukan obat yang hanya bisa dimasukkan lewat infus.

Ah infus! Umur Aga baru hitungan hari. Tanggannya masih ringkih, kulitnya masih keriput, bagaimana jarum sebesar itu harus menusuk pembuluh darahnya yang masih sangat halus. Ah semoga saja tidak.

Saya jadi lebih optimis mendengar sekian banyak analisa dokter yang terbantahkan. Hanya tinggal menunggu hasil lab di terapi bluelight kedua ini dan cek kadar protein itu. Saya juga lebih tenang karena Ayah Aga mau pulang lagi. Mungkin dia juga nggak tenang kerja sementara anaknya di rumah sakit.

Saat menjenguk Aga lagi saya bisa lebih tenang. Saya pegang tangannya (karena saya baru tau kalau saya boleh memegang). Saya bisikkan kabar gembira kalau ayah mau pulang. Dan kami akan bermain bersama. Saya bisikkan kalimat-kalimat positif itu di telinganya, sambil terus membelai lembut tangannya, pipinya, dan kakinya. Saya yakin Aga bisa merasakan energi positif yang saya kirimkan lewat sentuhan dan bisikan itu.

Dan Subhanallah...ketika hasil lab terapi kedua keluar, billirubin Aga langsung turun menjadi 5. Normal! Alhamdulillah. Lega banget rasanya.

Saya segera menyampaikan kabar gembira ini ke mertua, kakak saya yang menunggu di rumah, juga beberapa teman dekat saya. Suami yang sedang otw ke malang naik kereta rupanya kehabisan batrai, keretanya terhadang banjir pula di semarang. Jadi saya nggak bisa menghubunginya. Tapi saya tetap senang karena saat Ayah Aga pulang nanti kami bisa bermain dengan tenang di rumah.

***

Kalau nggak salah saya jadi pasien kedua yang keluar dari NICU. Saya sempat berpamitan dengan beberapa orangtua pasien yang ada di ruang tunggu. Sambil ikut mendoakan semoga mereka bisa merasakan kebahagiaan yang saya rasakan:membawa pulang bayi mereka kembali dalam keadaan sehat.

Banyak pelajaran yang bisa saya ambil dari kejadian ini.
1. Bersyukur atas nikmat sehat. Ini pasti. Mau setampan atau seimut apapun bayi kita kalau nggak sehat kita juga nggak bisa seneng kan.
2. Lebih tangguh. Nggak mudah cengeng hanya karena capek nyuci popok. Mending capek nyuci popok setiap hari daripada harus dipakaikan pempes atau dicucikan suster karena Aga nginep di RS.
3. be a better mom be a better daughter. Ya. Saya ingat saya juga pernah jadi anak yang pura-pura sakit karena malas sekolah. Ternyata begini ya rasanya jadi orangtua kalau anak sakit. Maafin devi ya bapak..ibu. Dan waktu susah inilah saat suami nggak ada di samping saya, ya cuma keluarga dan temen2 deket yang ada. Saya salah kalau saya pikir saya sendiri. Saya harus membuang jauh-jauh setan baby blues itu. Itu cuma ilusi saya yang hanya berpikir melulu tentang saya. Mereka..mereka..saya dikelilingi mereka yang sungguh-sungguh menyayangi saya dan bayi saya. I love them so much.
4. Berharap nggak melahirkan anak kedua di musim hujan. HAhaha...andai dua musim ini masih patuh pada jadwalnya ya. Saya memilih melahirkan di atas bulan april deh. :)

***

Well, thanks sudah membaca tulisan saya yang panjang ini. Semoga sharing ini bisa bermanfaat ya. :)

Selasa, 17 September 2013

Go Away Baby Blue!


Masa-masa awal menjadi seorang ibu baru bukanlah hal yg mudah. Banyak hal yg hrs dipelajari secara otodidak dan naluriah. Meski sudah membekali diri dgn banyak bacaan , buku, hingga nasehat dari ibu2 senior, tetap saja..prakteknyaa nggak mudah.
Mulai dari susahnya menyusui, takut ditinggal sendiri, bayang-bayang baby blues, hingga harus kembali dirawat di RS lagi. That's not easy for me. 


Asi is a Gift of God for You
Asi adalah karunia Allah untuk seorang bayi yang dititipkan pada ibunya. Saya percaya itu. Banyak literatur yang sudah saya baca, dan saya percaya, saya yakin, dan saya harus bisa menyusui anak saya. Dan yang namanya keyakinan itu harus diperjuangkan. 
Di awal-awal waktu masih di rumah sakit, aga msh enggan menyusu. Dia tidur terus. Meski begitu saya tetep bangun 2jam sekali buat mencoba menyusui. Tapi mulutny bener2 nggak mau ngebuka bwt nenen. Saya khawatir jangan2 asi saya nggak kluar. Karena waktu hamil saya nggak seperti bumil lain yang asi nya sudah keluar deres. Dan pikiran buruk itu terus melintas dalam otak saya.
Saya berusaha sekuat saya untuk tetap PD dan ngga mau ngasih susu formula. Karna toh dari yang  saya baca, bayi msh bisa bertahan hingga 3hari tanpa asupan makanan/minuman. Saya juga sudah wanti-wanti sm suster&bidan bwt nggak ngasih sufor ke anak saya. Meski sebenernya saya agak curiga jg waktu sekembalinya aga dari ruang bayi, dia sudah tenang, tidak menangis, dan mulutny sudah belepotan putih-putih. Ntah bedak ato bekas susu. Tapi saya pilih positif thinking saja. Karena sebenarnya saya seneng-seneng aj sih bayi saya anteng. Klo pun nangis saya juga msh bingung harus diapain. Saya bahkan msh takut buka kain bedongny. Takut karena ngga bisa balikin sprti semula. -_-"
Yahh..jangankan ngebedong..nggendong pun saya msh kagok. Apalagi posisi menyusui yg pas. Duh..kagok bgt lah pokokny. Mungkin karena posisi nggak nyaman itu juga Aga enggan nyusu ya. Sekalinya mau buka mulut dan menyusu saya seneng banget. Dan itu cuma 2x sewaktu di RS. Mungkin dia sedang belajar menyusu. Begitu juga saya yang sedang belajar menyusui. 

Saat mulutnya mulai menghisap, saya berusaha pertahankan posisi itu selama mungkin. Tegang. Kaku. Pastinya. Tapi yaa lumayanlah. Setidaknya  sekitar 1jam dia nyusu. Gpp lah meski tangan punggung lumayan pegel karena saya menopang dengan satu tangan saya. Tapi di sisi lain saya lega, akhirnya bayi saya mau nyusu. Rasanya seneeengg banget bisa ngasih asi buat anak sendiri :)


Baby Blue
Entah ini baby blue atau bukan. Yang jelas saya takut ditinggal sendiri. Ini dipicu karena suami mau balik jakarta dan saya tetep stay di malang untuk sementara waktu sambil nunggu Aga agak gede. Saya ngerasa kalo suami balik lagi ke jakarta, nggak ada lagi partner saya berbagi keluh kesah. Nggak ada lagi yang bisa bantuin saya ngurus bayi ringkih ini. Meski ada kakak, ibu, bapak, saya ngerasa nggak setanggungjawab ayahnya sendiri. Fyuu...dan saya mulai dilanda gelisah saat akan pulang dari rumah sakit.
Di rumah, saya akan hadapi semuanya sendiri. Ngga ada lagi suster&bidan yang siap sedia datang saat saya kesulitan atau saat Aga nangis. Di RS tinggal angkat telp dan semua beres. Tapi di rumah saya harus ganti popok Aga sendiri, harus nenangin dia kalo nangis, harus bisa nyusuin, harus brani nggendong, haruss..haruss, dan harrus mendadak pinter. Harus jadi ibu yang lihai dlm segala hal. Siap nggak siap harus siap. Ini bikin saya sempet nangis sendiri di kamar RS.
Sesaat sampai di rumah saya seperti linglung. Bingung harus ngapain. Saya nggak tahu bagaimana menikmati bayi mungil saya. Bahkan ketika semua excited memandangi bayi saya yang anteng, hati saya panik.
Saya coba mengusir kepanikan itu dengan mengerjakan semuanya sendiri. Sebaik mungkin. Seperfectsionis mungkin. Mulai dari memandikan, mengganti popok, hingga mencuci baju Aga. Semua saya lakukan sendiri. Kakak saya dan suster bantuan dr RS cuma membantu di awal saja. Selebihnya saya lakukan semua sendiri. Meski jahitan belum kering, meski ngantuk, meski capek, saya bela-belain berdiri lama di kamar mandi cuma untuk nyuci. Mencuci semua pakaian Aga yang tanpa pempes di siang hari. Segunung popok dan pakaian kotor jadi makanan saya. Kadang saat saya mencuci Aga sudah menangis. Saya dengan tergopoh-gopoh mencuci tangan dan menggendong Aga meski tangan dan kaki saya masih basah. Dan dia hanya ingin digendong lalu tidur di gendongan saya. Repot. Pasti. Meski saya sudah coba siasati timingnya tetap saja sering kedapatan momen seperti ini. Lelah?sangat. Jagoan? Tidak juga. Saya hanya mencoba bertahan. Toh nanti saat kembali ke Jakarta bareng2 sama suami lagi, saya juga akan mengurus Aga sendiri. Tanpa IRT. Tanpa bebisitter. Jadi saya harus terbiasa. Harus terbiasa.

Sekarang saya sadar saat itu saya terlalu memforce diri saya to be perfect. To be a supermom. Yang bisa menghandle semuanya sendiri. Padahal sometimes we need break just to refres, relax, or take a deep breath..and realise that the baby is so cute. 

Kalo saya mengingat lagi, hari-hari awal setibanya di rumah, saya sering menangis menjelang sore. Saya menangis sembunyi-sembunyi. Kadang di dalam kamar, kadang di KM. Saya ingin bilang saya lelah, tapi saya nggak ingin lelah. Saya ingin ada yang memeluk saya karena saya takut. Saya sungguh takut tidak bisa merawat bayi saya. Berjuta bayangan buruk menghampiri saya. Kalau-kalau bayi saya jatuh sewaktu saya duduk menyusui dan mengantuk. Kalau-kalau saat ia menangis di malam hari saya tidak terbangun dan dia kelaparan. Dan banyak lagi bayangan buruk lainnya. Saya sedih, bingung, takut, dan sungguh tidak tahu bagaimana meredamnya. Yang jelas malam yang sepi membuat saya semakin takut. Takut sendiri.

Rasa takut itu makin menjadi ketika kulit Aga makin hari makin menguning. Puncaknya setelah Aga diperiksa dan harus diterapi sinar bluelight. BAMM!! Rasanya ada palu godam yang memukul saya dengan keras. Meluluhlantakkan semua rasa cengeng saya. Membangunkan saya yang masih terbuai euforia ibu baru. Saya harus buru-buru membuang jauh halusinasi buruk saya. Ada kenyataan yang harus saya hadapi. Saya harus menguatkan diri saya sendiri. Bayi ringkih itu membutuhkan ibunya yang waras, sadar, dan dewasa. Bukan wanita cengeng yang penakut. Menjadi seorang Ibu adalah keputusan saya yang diamini oleh berjuta malaikat. Saya tidak boleh menyerah hanya karena lelah di awal pagi. Perjalanan menjadi seorang Ibu masih sangat panjang. Bantu saya untuk siap Ya Allah. Saya mencintaimu bayiku. Ibu sayang Aga.

source pic: mypostpartumvoice.com




Rabu, 11 September 2013

Detik-detik Menakjubkan



Setiap kali ada teman yang akan melahirkan, saya selalu teringat kembali detik-detik itu. Saya rasa semua ibu yang pernah melahirkan akan merasakan hal yang sama. Ikut deg-degan bahkan nggak jarang ikut merasakan mulesnya. Hehe.
Sekarang saya akan berbagi detik-detik menakjubkan itu. Detik-detik saat saya akan melahirkan putra pertama saya, Aga Khairan Navitra Nadjib.

Pagi 13-02-2013. Pukul 7 pagi saya terbangun. Seperti biasa masih malas-malasan di tempat tidur. Saya mulai merasa agak mules. Saya pikir mules yg wajar. Meski mulesnya teratur tiap 10 menit sekali. Teraturnya ini bikin saya mulai sedikit was-was dan bingung. Saya pikir mungkin ini namanya kontraksi palsu. Cuma herannya kenapa intensitasnya teratur.
Saya coba redakan rasa mules itu sesuai anjuran dari literatur yang saya baca. Mencoba rileks dengan mandi air hangat. Tapi tidak ada perubahan. Mulesnya masih tetep kontinyu. Saya coba chatting via whatsapp ke kakak saya dan beberapa teman dekat saya yang sudah pernah melahirkan. Saya cerita yang saya alami dan mereka coba menganalisis apa yang terjadi. Kakak bilang wajar karena ini sudah masuk minggu ke 38awal. Mungkin ini proses si dedenya turun ke panggul. Beberapa temen saya pun berbagi pengalamannya dan kebetulan semuanya berangkat ke rumah sakit saat sudah ada flek. Nah sedangkan saya waktu itu masih bersih alias nggak ada flek. Saya pun jadi lebih tenang. Mungkin ini memang kontraxi palsu. Lagipula ini masih di akhir minggu ke 37, awal minggu38, saya masih belum saatnya melahirkan ah. Tapi kemudian saya baca di beberapa literatur buku dan internet, tanda-tanda melahirkan tak selalu timbul flek. Lahh...saya bingung lagi. Apa iya saya mau melahirkan. Perkiraannya masih 28feb-3maret. Saya belum makan durian biar mancing kontraxi alami, saya belum minum sprite, saya belum makan nanas, saya belum ke babyshop beli satu peralatan bayi yg kurang. Saya juga besok kan masih mau senam hamil lagi. Pulangnya beli dot bayi, soalnya ud nitip. Banyak yg belum saya lakukan.  :D

Awalnya saya nggak ingin cerita gejala mules-mules yang saya alami ini ke suami ataupun ibu saya. Saya nggak ingin suami saya yang jauh dari saya (suami kerjadi jakarta, sedang saya ngungsi ke rumah ortu di kota malang untuk melahirkan) panik dan beli tiket sesegera mungkin padahal belum tentu saya melahirkan saat itu. Kan sayang uangnya :D (Ceritanya irit mau kluar duit banyak buat persalinan) . Saya juga sebenernya nggak ingin cerita dulu ke ibu saya. Yah..alesanny sama. Karena ibu saya 10x lipat lebih gampang panik dari suami. Tapi sih akhirnya cerita juga. Cerita ke suami dengan gaya cerita setenang mungkin. Karena sebenernya juga saya sendiri nggak panik-panik amat. Masih yakin belum bakal ngelahirin hari itu.

Sementara ibu, nggak sengaja cerita soalnya pembantu d rmh bikin masakan agak pedes. Saya agak komplain soalnya saya bilang kalo saya udah agak mules. Takut ga bisa ngebedain mules pedes sm mules melahirkan. Ee si pembantu curiga dan bilang ke ibu saya jangan2 saya udah mau melahirkan. Ya sudah deh saya cerita ke ibu saya kalo saya emang udah mules-mules sejak pagi.

Dan ibu saya langsung panik. Ga nafsu sarapan. Langsung nyiapin isi tas sama baju ganti, air zam-zam, bahkan rumput fatima. :D Akhirnya buat nenangin ibu saya, saya bilang kalo nanti habis dhuhur saya masih mules, kami berangkat ke rumah sakit. Saya pikir sekalian aja kontrol. Toh 2hari lagi juga jadwalnya kontrol. Kalo toh blm waktunya melahirkan juga ga mubazir2 amat kontrol ke dokter :D (pikiran irit)

Dan menjelang dhuhur itu mulai kerasa mulesnya kayak mau BAB. Intensitasnya makin sering. Sudah mulai 5menit sekali. Tapi sayaa..masih nggak terlalu panik sih..masih tenang. Karena merasa belum akan melahirkan. Saya juga meyakinkan suami, jangan beli tiket pulang dulu sebelum saya priksa dan diyakinkan sudah ada bukaan. Sekali lagi saya mikir sayang uangnya kalo ud beli tiket tapi belum mau melahirkan hari itu. Hehe.. 

Setelah solat dhuhur saya pun berangkat ke rumah sakit ditemeni ibu. Tapi tas yang sudah saya persiapkan untuk dibawa ke rs saat akan melahirkan sengaja ga saya bawa si. Saya merasa masih belum akan melahirkan hari itu. :D Dalam perjalanan, saya sempet mampir juga di atm buat ngambil uang kontrol. Masih jalan sendiri meski sedikit2 kerasa mules. Sesampainya di rumah sakit sekitar setengah3. Saya belum daftar waktu itu, tapi langsung bilang ke susternya minta didahulukan karena saya sudah ngerasa mules. Waktu ditanya intensitasnya dan saya bilang 5menit sekali. Si suster dgn sigap justru membawa saya ke ruang bersalin. Dhoeng...saya mulai was-was jangan-jangan emang mau melahirkan ya. :D
Tapi sekali lagi saya masih tenang. Hehe... Ntah apa yang membuat saya waktu itu sangat bisa mengontrol emosi dan nggak panik ya. Saya waktu itu cuma berpikiran kalo toh belum melahirkan hari ini ya sudah. Paling tidak saya sudah periksa. Tapi kalau memang harus melahirkan hari ini ya semoga dilancarkan dan semoga bisa melahirkan dengan normal. Karena ini bayi pertama kan sayang kalo harus secar. Dan juga kalo harus secar mahal boookk. (Sekali lagi duuitt :D)

Bidan pun memasang alat rekam jantung untuk melihat detak jantung si bayi dan melihat intensitas kontraxinya. Menurut yang saya baca dan sharing temen yang pernah disecar, kalo si ibu kontraksi harusnya detak jantung si dede meningkat. Kalo cenderung melemah saat kontraksi itu yg bahaya. Karena harus segera dilakukan secar. Duhh...beneran saya ga pengen secar. Jadi deg-degannya moga2 jangaaannn deh jangan secar. Hehe..Syukurlah. Saat saya merasa mules saya denger bunyi detaknya makin cepat. Dan benar kata susternya. Kontraksinya sudah bagus. Intensitasnya sekitar 4-5menit sekali.

Dan tibalah saat priksa dalam untuk mengetahui sudah bukaan berapa. Ini saya deg-degan. Katanya kalo masih bukaan1 bakalan sakit. Ternyata suster bidan bilang sudah bukaan 3 menuju 4. Disitu saya baru sadar...oke sepertinya saya beneran mau melahirkan hari ini nih. Saya segera menghubungi suami dan membolehkan dia buat beli tiket. Suami baru dapet tiket jam9malem. Itupun mesti transit ke sbya dulu. Saya masih berharap bisa ditemenin suami saat melahirkan. Saya pun dengan PD nya maw pamit buat solat ashar di musola di lantai2. Tapi ternyata ga dibolehin. :D Ya sudah saya solat dgn berbaring di ruang bersalin. Setelah itu rasa mulesnya makin kuat. Sampai dokter kandungan datang dan memeriksa bukaan saya. Waktu itu sekitar jam set6. Dokter bilang ke bidan sudah mau melahirkan. Tapi dia ga bilang bukaan berapa. Saya tanya ke bidan dia bilang8. Oww..dan pantes saja itu sakitttt banget. Rasanya pengen ngeden tapi ga boleh. Tapi saya masih nyempetin buat sms suami. Ngabarin kalo saya udah bukaan8. Mau melahirkan. Minta restu dan doanya. Meskipun ga bisa nemenin, saya yakin dengan restu dan doa dari suami dan semuanya insyaAllah lancar. Setelah itu HP saya taruh. 

Saya mulai “menikmati” rasa sakitnya bukaan 8. Dan memang beneran sakittt ya. Puncaknya sakittt diantara bukaan2 yang lain. Kayak pengen ngeden tapi ga boleh kan. Saya berusaha tenang dan mengontrol rasa pengen ngeden saya itu dengan teknik napas yang diajarin di senam hamil. Tarik napas dalam lewat hidung...hembuskan lewat mulut. Saat sakit itu datang saya tarik napas lagi, hembuskan lagi. Begitu seterusnya, Syukurlah itu kepake banget. Dan waktu sakiiitt2nya saya ngeluh ke suster. Suster ngecek lagi. Dia bilang dengan nada yang tenang dan seramah mungkin. Oo..sudah mau ini ibu. Saya ga puas, saya tanya bilangan bukaannya. Dia bilang 9. Huah sudah melewati 8 juga. Dan setelah itu saya pengenn bgt ngeden. Saya tanya ke suster bidan. Dan saya diperbolehkan ngeden dibimbing suster bidan dan ibu saya disamping saya.
Saya ngeden sebisa saya. Tapi ga kluar-kluar. Bidan nanya apa ada lilitan pusar kemaren? Kami bilang nggak ada dan kata dokter memang nggak bisa terlalu terlihat. Dia bilang kalaupun ada dia akan tetap usahakan untuk normal. Saya mulai deg-degan. Jangan2 kelilit tali pusar trus sesar. Duh jangan dehh...jangan cesarr.
Sesaat setelah nggak bisa dibantu bidan, dokter kandungan saya pun datang. Dan saya dibantu ngeden. Saya ngeden-sengeden2nya. Ternyata ngedennya memang harus sampe semua otot rasanya meregang ya. Dan setelah 2-3 x ngeden kuat itu rasanya ada sebongkah gumpalan air besar yang pecah dan keluar. Ternyata si dede sudah lahir. 
Ga lama kemudian dia sudah diletakkan di dada saya untuk IMD (inisiasi menyusui dini). Di sana saya melihat dari dekat kepalanya, wajahnya, matanya, dan telinganya. Tiada kurang satu apapun. Dia ciptakan sempurna hingga lekuk liuk telinganya. Subhanallah, alhamdulillah, allahuakbar. Terimakasih ya Allah atas anugrah terindah ini...Kau buat aku sempurna menjadi seorang wanita :)



Welcome to Diary Ibu Aga


Menjadi seorang ibu adalah anugerah besar dalam hidup saya. Bagaimana tidak, saya dipercaya untuk menerima titipan sosok mungil diantara banyak wanita lain yang begitu mengharapkan hadirnya anak namun masih belum terwujud. Pengalaman menjadi seorang ibu sangat mengesankan. Bukan karena saya sudah expert, tapi justru sebaliknya, karena saya masih belajar dan terus belajar menjadi seorang ibu yang baik. Kisah saya merawat putra pertama saya Aga Khairan Navitra Nadjib saya tuangkan dalam blog ini:Diary Ibu Aga. Saya harap lewat blog ini banyak ibu, mama, bunda atau para ayah yang bisa memetik pelajaran. Bukan ingin menggurui ya, hanya ingin berbagi. Sekedar berbagi. Jika ada yang berbeda pola pikir, pola pengasuhan, tak apa. Toh saya hanya ingin berbagi lewat blog ini. Jika bermanfaat, bisa jadi referensi, saya bersyukur. Paling tidak sudah menyempatkan membaca blog ini saya sudah senang kok. Dann..sepertinya tidak perlu berlama-lama memberi pengantar ya. Selamat menikmati Diary Ibu Aga. :)