Saya Ibu rumahan. Saya sebut
begitu supaya tidak rancu dengan istilah ibu rumah tangga yang sering dikonotasikan dengan ibu yang tidak bekerja dan hanya mengurusi pekerjaan rumah
saja. Saya punya perbedaan istilah. Buat saya semua ibu yang sudah
berumah tangga ya namanya ibu rumah tangga baik dia bekerja maupun di rumah
saja. Jadi saya lebih nyaman menyebut diri saya ibu rumahan, yang mengurus pekerjaan rumah tangga dan tidak bekerja
kantoran.
* * *
Sejak sebelum menikah dan belum
menemukan calon suami saya sudah berangan-angan. Ketika saya sudah berkeluarga,
punya anak, saya akan lebih memilih merawat anak-anak saya dan bukan bekerja
sebagai karyawan kantoran. Saya bertekad merintis usaha, jadi womanpreneur,
apapun bidangnya. Yang jelas pointnya saya harus punya waktu yang fleksibel.
Utamanya untuk keluarga:anak-anak saya.
Jabatan seorang ibu rumahan yang
kerjaannya seputar anak dan dapur memang tidak sekeren Manager, Dirut atau yang
lainnya. No need any make up, blazer, high heels or etc. But I think it needs
heart. Dan saya percaya disanalah hati saya berada.
Itulah yang membuat saya resign
dari pekerjaan saya sebagai seorang reporter saat hamil 5 bulan. Buat saya
pekerjaan itu kurang ramah terhadap profesi ibu ideal di mata saya. Jadi saya
putuskan untuk resign sebelum melahirkan, agar saya punya cukup waktu untuk mempersiapan
diri menjadi ibu sekaligus menikmati momen-momen kehamilan saya.
Saya tahu keputusan ini tidak
selamanya bisa diterapkan untuk semua ibu di dunia. So I dont wanna judge a
working mom ya. Jadi plis jgn tersinggung ya moms. Saya yakin tidak ada ibu
yang ingin berjauh-jauhan dengan anaknya. Semua ibu pasti ingin selalu dekat
dengan buah hatinya. Dan Saya bersyukur saya bisa memilih apa yang hati saya
inginkan karena tidak semua kondisi bisa mendukung sang ibu untuk melakukannya.
Sebelum mengambil keputusan
resign ada banyak hal yang membuat saya galau. Dari mulai masalah uang,
sentimen orang, hingga rasa bosan. Meski kegalauan itu akhirnya mampu saya
tepis tapi disini akan saya ceritakan satu persatu. Siapa tahu menginspirasi
moms lain yang juga lagi galau dan akhirnya mantab untuk jadi ibu rumahan kayak
saya. Buat yang males jadi ibu rumahan, ga usah dibaca gpp kok. Hehehehe :)
Uang
Umumnya ini kegalauan pertama
saat seorang ibu ataupun calon ibu ingin resign dari pekerjaannya. Kalau suami
seorang CEO perusahaan sih rasanya uang bukan masalah ya. Tapi bagi sebagian
kaum menengah hingga bawah, faktor uang jadi hal utama yang dipikirkan. Seperti
juga saya.
Bandingkan 2 mesin cetak dengan 1
mesin cetak pasti produksi 2 mesin cetak lebih banyak. Begitu juga pemikiran saya
dengan kondisi keuangan keluarga. Jika suami istri bekerja pasti bisa menabung
bisa lebih banyak dibandingkan jika istri hanya di rumah tidak bekerja. Ya. Ini
adalah hitungan matematis yg sangat logis. Tapi rupanya jalan rizki Allah lebih
logis daripada pikiran matematis kita.
Suami saya bilang, rejeki yang
Allah beri itu insyaAllah sama saja, maw saya sebagai istri bekerja atau tidak.
Bisa saja karena saya sudah nggak bekerja lagi, uang "jatah" saya
dititipkan lewat gaji suami. Dan kalaupun saya tetap bekerja, belum tentu niat
nabung bisa sukses. Bisa jadi karena merasa masih ada gaji bulan depan dst uang
saya malah kepake untuk hal-hal yang kurang perlu. Atau malah naudzubillah
ya...bisa jadi kepake untuk biaya berobat saya atau anak yang sakit.
Awalnya ga percaya sama kata-kata
suami. Saya selalu ingat bukankah Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum
sebelum dia berusaha. Nah itu yang saya pegang. Kalo saya tidak bekerja mana
mungkin bisa punya uang banyak untuk ini dan itu. Tapi setelah direnungkan
lagi, apa yang dibilang suami saya itu bener juga ya. Saya sadar rejeki itu
bukan cuma uang, tapi juga sehat badan dan ketenangan hati.
Kalo perkara uang tentu kami
tetap harus ikhtiar. Dan peran itu dilakukan oleh suami. Sedangkan saya juga
tetap berikhtiar untuk faktor rejeki yang lainnya: kebahagiaan kelurga. Dan
ternyata bener loh, beberapa bulan setelah saya resign, gaji saya dititipkan ke
suami, alias suami naik gaji. Alhamdulillah :)
No Job No Career?
Kuliah di bidang arsitekur hingga
akhirnya bekerja jadi jurnalis memang impian saya. Apalagi di perusahaan media
yang cukup besar. Tapi ketika saya harus melepasnya saya nggak takut karir
saya akan mandeg. Karena bagi saya karir nggak melulu jenjang jabatan di kantor
sih. Buat saya karir itu karya. Selama kita terus berkarya menghasilkan sesuatu
ya artinya kita masih punya karir. Karir bukan berlomba mengejar jabatan
tertinggi di satu perusahaan lalu mentog dan malah malas berkarya. Karir adalah
karya yang tetap bisa saya kejar meski tanpa menjadi pegawai kantoran.
Percuma Kuliah?
Pasti banyak yang bertanya buat
apa kuliah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya cuma di rumah. Buat apa
lembur-lemburan kerjain tugas kalau akhirnya cuma masak di dapur. Hmmm..kalo
masih nggak ikhlas dengan jam tidur yang terbuang gara-gara ngerjakan tugas sih,
saya nggak akan memilih jadi reporter yang kerjaannya nulis bukannya nggambar
seperti yang diajarkan di kuliah.
Bapak saya pernah bilang. Kuliah
itu membentuk karakter pemikiran kamu. Seperti misalnya bank umumnya merekrut
sarjana teknik untuk recruitmen sekelas manager, sedangkan sarjana bidang
keuangan justru di tempatkan di posisi yang tidak vital. Ini karena sarjana
teknik terbiasa berpikir logis.
Perbandingan yang sama dengan
saya. Meski saya seorang ibu rumahan. Tapi saya seorang ibu rumahan sarjana
teknik arsitektur. Yang diajarkan ilmu bangunan, lingkungan, hingga desain.
Selain dipakai dalam bidang arsitektur, ilmu itu juga terserap pada perilaku
sehari-hari. Utamanya dalam mendidik anak. Contohnya lebih menjaga lingkungan
dengan berusaha mengurangi sampah tidak terurai dan hemat air.
Dan sebenarnya apapun bidang
pendidikan yang ditempuh, seorang ibu masa kini haruslah terdidik dengan baik.
Karena dia akan mendidik dan menjadi panutan generasi bangsa selanjutnya. Coba
amati saja cara mendidik ibu yang terdidik dengan ibu yang nggak sekolah.
Passsti beda. Nggak percaya? silahkan amati dan simpulkan sendiri ya.
Cibiran
Ibu rumahan seringkali identik
dengan pengangguran, pemalas, dan penggosip. Ahhh...yang terakhir itu nggak
keren sama sekali. Dan sebenarnya ketiga anggapan itu nggak bener loh. Kerjaan
rumah itu banyak sekali, apalagi yang tanpa pembantu ya. Pemalas itu juga
relatif ya. Tapi rasanya kalo semua pekerjaan rumah beres ya berarti nggak
pemalas dong ya. Nah kalau sudah penggosip ini tergantung dari kebersihan hati
masing-masing. Kalo udah mental biang gosip mau di rumah di kantor ya tetep
nggosip. Dan tidak semua ibu rumahan doyan gosip ya. Sejauh pengalaman saya di
lingkungan tempat tinggal saya, semua ibu-ibu rumahan nya cukup beretika dan ga
ada tuh yang namanya biang gosip.
Pengasuh
Ini nih poin yang paaliing
dipusingkan working mom. Sepakat dongg working mom yang baca. Hehehe. Dan jujur
alasan saya resign adalah saya nggak mau
menitipkan anak saya pada pengasuh. Mau itu saudara sendiri, neneknya, dan
apalagi seorang pembantu atau baby sitter bersertifikat. Hm...jangankan
menitipkan anak berjam-jam ketika kerja, membayangkan momen dadah2 saat saya
berangkat kerja dan anak saya nangis kejer ga mau ditinggal, ini sudah
meluluhlantakkan mental keibuan saya. Saya nggak sanggup. Titik!
Alasan kenapa saya nggak mau
menitipkan ke pembantu atau baby sitter ya sudah bisa ditebak lah ya. Karena
saya nggak bisa dengan mudah percaya begitu saja dengan orang lain. Sedangkan
saudara dekat atau jauh nggak ada yang bisa diandalkan untuk mengasuh.
Nenek bisa jadi pilihan paling
baik dibanding saudara atau pembantu. Tapi
ya masa iya to saya maw minta tolong lagi sama ibu saya. Jasanya mendidik dan
membesarkan saya itu sudah luar biasa hebatnya. Saya masih berhutang banyak
pada orangtua saya, yang sepertinya sampai mereka wafat pun nggak akan sanggup
saya balas. Lalu apa iya saya masih mau minta tolong lagi untuk membesarkan dan
mendidik anak saya.
Coba bayangkan. Kita aja nih ya
yang masih lebih mudah dari ibu kita nggendong anak kita sekian jam aja rasanya
udah pegel apalagi ibu kita yang udah 2x lipat usianya dibanding kita. Biarlah
nenek kakek anak-anak saya bebas menyayangi cucunya dengan caranya sendiri
tanpa terbebani ganti popok, nyuapin dan gendong kesana kemari.
Mendidik anak itu memang tidak
mudah. Tapi itulah tugas utama orangtua bukan. Saya memang nggak punya
pengalaman jadi ibu, tapi toh semua itu harus dan sudah dilalui orangtua saya
dulu. Nyatanya mereka berhasil membesarkan saya sampai sekarang. Jadi
sebenarnya siap nggak siap ya saya harus siap bukannya melempar kembali
tanggungjawab itu lagi ke orang yang sudah lebih berpengalaman seperti orangtua
saya
Kebetulan saya tinggal jauh dari
orangtua saya dan mertua. Jadi pemisahan peran itu tegas. Tapi buat yg masih
tinggal sama mertua atau orangtua pasti susah ya. Susahnya kalau beda pendapat
tentang pengasuhan anak. Saya bersyukur sih saya nggak mengalaminya. Dan baik
ibu maupun ibu mertua membebaskan saya menikmati momen menjadi pengasuh anak
sendiri.
Lagipula Allah menciptakan
umatnya bergenerasi-generasi. Bukannya tumplek blek di satu masa untuk kemudian
habis dan selesai. Dan karena itulah saya yakin setiap ibu punya masanya
sendiri. Kalau toh di jaman ibu kita dulu mpasi dini dan gula garam dihalalkan
untuk bayi, saat kita jadi ibu lain lagi. Begitu pula saat jadi nenek nanti,
saya tetaplah nenek, bukan ibu dari cucu saya.
Bosan
Sebenarnya dari sekian banyak
yang saya jabarkan di atas ketakuan terbesar saya kalau resign adalah ini.
Bosan. Di awal-awal resign saya sempet merasakannya. Selain karena masih
adaptasi, hormon kehamilan membuat saya moody. Alhasil yaa uring-uringanlah
saya.
Yaaa..bayangkan aja yang awalnya
sibuk berubah drastis jd di rumah aj. Ditambah lagi tinggal di kota orang yang
notabene temen saya ya cuma temen kerja aj. Mau ngajak jalan2 di weekday ya jelas ga
bisa lah wong mereka kerja.
Untuk membunuh rasa bosan saya coba
ambil job freelance yang ternyata lumayan memakan waktu istirahat dan pikiran
saya. Maunya sih kerjaan freelance ini selesai sebelum saya melahirkan. Eh
nyatanya nggak bisa jadi kerjaan freelance ini bersambung sampe aga hampir
6bulan. Alhasil saya memang nggak sempet bosan lagi tapi jadi kehabisan energi.
Dampaknya saya uring2an lagi. Dan yang kasihan Aga karena saya jadi berharap
dia tidurnya lama ga rewel dan saya jadi males ngajak main. Setelah tanggungan
kerjaan itu selesai, saya mulai lebih selektif milih kerjaan freelance. Kalau
freelance tapi nyatanya pikiran nggak bisa free alias jadi terbebani kan jadi
nggak asik. Akhirnya saya pilih bikin bisnis sendiri. Bisnis online shop
kecil-kecilan biar punya "mainan" selain Aga. Hehe (next semoga bisa
cerita bisnis ini ya :) )
Saatnya Aga mpasi (makanan
pendamping asi) saya makin sibuk. Saya bersiap dengan googling tentang mpasi. Setiap
hari, setiap minggu harus mikir mau mencoba bahan makanan apa. Selalu was2
melihat ada tidaknya reaksi alergi. Memutar otak cari cari resep biar Aga
lahap. Bersabar kalau Aga malas makan gara-gara mau tumbuh gigi. Memilihkan
makanan dengan serat seimbang biar pub Aga lancar. (next saya cerita soal puppy
ya)
Belum lagi masalah tumbuh
kembangnya. Aga termasuk yang woles. (next saya juga akan cerita tumbuh
kembangnya. Banyak cita2 cerita ya. Semoga kesampean. Sok sibuk deh. Heee). Jadi saya harus rajin-rajin memberi stimulus. Mengajari tengkurap,
bersabar dan terus melatihnya merangkak, melatih dan menjaganya saat belajar
berdiri dan hingga sekarang berjalan.
Yang nggak kalah asiknya ya ngajak
aga main. Buat anak kecil bermain adalah belajar. Jadi saya pilih mainan bukan
hanya sekedar mobil-mobilan, tapi juga mainan edukaif seperti puzle dkk. Mainan
sederhana seperti memasukkan bersachet2 kopi ke dalam toples juga mengasyikkan.
Yang terpenting melihatnya tertawa, hilang sudah rasa bosan saya :)
* * *
Dari yang saya jabarkan di atas
intinya saya hanya ingin lebih damai menghayati peran saya sebagai ibu. Ibu
yang meski kelelahan menyiapkan keperluan keluarganya tapi bisa dengan puas menikmati
tawa anak-anaknya tanpa harus terikat dengan jadwal pakem di kantor.
Buat saya, hidup di dunia bukan
berarti hanya untuk mengejar dunia. Saya hanya ingin memastikan anak-anak saya
mendapatkan pendidikan yang layak, pantas, baik, yang tidak hanya berasal dari
sekolah formal saja tapi utamanya dari lingkungan keluarga dan orangtua
pastinya. Karena anak-anak bukan hanya amanah yang harus kita bina dengan penuh
tanggung jawab tapi juga investasi di kubur nanti.
Bukankah terputus semua amalan
manusia saat mati kecuali salah satunya doa anak yang sholeh sholehah. Dan semoga saya dimampukan Allah serta selalu
dibimbingNya dalam mendidik anak-anak saya menjadi anak yang sholeh dan
sholehah. Amiin
Hi Ibu Aga ? Apa kabarnya sekarang ? Aga udah besar ya ?
BalasHapusFrom Bunda P Al Azhar