Jumat, 06 Juni 2014

Ibu Aga Ibu Rumahan



Saya Ibu rumahan. Saya sebut begitu supaya tidak rancu dengan istilah ibu rumah tangga yang sering dikonotasikan dengan ibu yang tidak bekerja dan hanya mengurusi pekerjaan rumah saja. Saya punya perbedaan istilah. Buat saya semua ibu yang sudah berumah tangga ya namanya ibu rumah tangga baik dia bekerja maupun di rumah saja. Jadi saya lebih nyaman menyebut diri saya ibu rumahan, yang mengurus pekerjaan rumah tangga dan tidak bekerja kantoran.

* * *

Sejak sebelum menikah dan belum menemukan calon suami saya sudah berangan-angan. Ketika saya sudah berkeluarga, punya anak, saya akan lebih memilih merawat anak-anak saya dan bukan bekerja sebagai karyawan kantoran. Saya bertekad merintis usaha, jadi womanpreneur, apapun bidangnya. Yang jelas pointnya saya harus punya waktu yang fleksibel. Utamanya untuk keluarga:anak-anak saya. 

Jabatan seorang ibu rumahan yang kerjaannya seputar anak dan dapur memang tidak sekeren Manager, Dirut atau yang lainnya. No need any make up, blazer, high heels or etc. But I think it needs heart. Dan saya percaya disanalah hati saya berada.

Itulah yang membuat saya resign dari pekerjaan saya sebagai seorang reporter saat hamil 5 bulan. Buat saya pekerjaan itu kurang ramah terhadap profesi ibu ideal di mata saya. Jadi saya putuskan untuk resign sebelum melahirkan, agar saya punya cukup waktu untuk mempersiapan diri menjadi ibu sekaligus menikmati momen-momen kehamilan saya.

Saya tahu keputusan ini tidak selamanya bisa diterapkan untuk semua ibu di dunia. So I dont wanna judge a working mom ya. Jadi plis jgn tersinggung ya moms. Saya yakin tidak ada ibu yang ingin berjauh-jauhan dengan anaknya. Semua ibu pasti ingin selalu dekat dengan buah hatinya. Dan Saya bersyukur saya bisa memilih apa yang hati saya inginkan karena tidak semua kondisi bisa mendukung sang ibu untuk melakukannya.

Sebelum mengambil keputusan resign ada banyak hal yang membuat saya galau. Dari mulai masalah uang, sentimen orang, hingga rasa bosan. Meski kegalauan itu akhirnya mampu saya tepis tapi disini akan saya ceritakan satu persatu. Siapa tahu menginspirasi moms lain yang juga lagi galau dan akhirnya mantab untuk jadi ibu rumahan kayak saya. Buat yang males jadi ibu rumahan, ga usah dibaca gpp kok. Hehehehe :)


Uang
Umumnya ini kegalauan pertama saat seorang ibu ataupun calon ibu ingin resign dari pekerjaannya. Kalau suami seorang CEO perusahaan sih rasanya uang bukan masalah ya. Tapi bagi sebagian kaum menengah hingga bawah, faktor uang jadi hal utama yang dipikirkan. Seperti juga saya.

Bandingkan 2 mesin cetak dengan 1 mesin cetak pasti produksi 2 mesin cetak lebih banyak. Begitu juga pemikiran saya dengan kondisi keuangan keluarga. Jika suami istri bekerja pasti bisa menabung bisa lebih banyak dibandingkan jika istri hanya di rumah tidak bekerja. Ya. Ini adalah hitungan matematis yg sangat logis. Tapi rupanya jalan rizki Allah lebih logis daripada pikiran matematis kita.

Suami saya bilang, rejeki yang Allah beri itu insyaAllah sama saja, maw saya sebagai istri bekerja atau tidak. Bisa saja karena saya sudah nggak bekerja lagi, uang "jatah" saya dititipkan lewat gaji suami. Dan kalaupun saya tetap bekerja, belum tentu niat nabung bisa sukses. Bisa jadi karena merasa masih ada gaji bulan depan dst uang saya malah kepake untuk hal-hal yang kurang perlu. Atau malah naudzubillah ya...bisa jadi kepake untuk biaya berobat saya atau anak yang sakit.

Awalnya ga percaya sama kata-kata suami. Saya selalu ingat bukankah Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sebelum dia berusaha. Nah itu yang saya pegang. Kalo saya tidak bekerja mana mungkin bisa punya uang banyak untuk ini dan itu. Tapi setelah direnungkan lagi, apa yang dibilang suami saya itu bener juga ya. Saya sadar rejeki itu bukan cuma uang, tapi juga sehat badan dan ketenangan hati.

Kalo perkara uang tentu kami tetap harus ikhtiar. Dan peran itu dilakukan oleh suami. Sedangkan saya juga tetap berikhtiar untuk faktor rejeki yang lainnya: kebahagiaan kelurga. Dan ternyata bener loh, beberapa bulan setelah saya resign, gaji saya dititipkan ke suami, alias suami naik gaji. Alhamdulillah :)

No Job No Career?

Kuliah di bidang arsitekur hingga akhirnya bekerja jadi jurnalis memang impian saya. Apalagi di perusahaan media yang cukup besar. Tapi ketika saya harus melepasnya saya nggak takut karir saya akan mandeg. Karena bagi saya karir nggak melulu jenjang jabatan di kantor sih. Buat saya karir itu karya. Selama kita terus berkarya menghasilkan sesuatu ya artinya kita masih punya karir. Karir bukan berlomba mengejar jabatan tertinggi di satu perusahaan lalu mentog dan malah malas berkarya. Karir adalah karya yang tetap bisa saya kejar meski tanpa menjadi pegawai kantoran.


Percuma Kuliah?

Pasti banyak yang bertanya buat apa kuliah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya cuma di rumah. Buat apa lembur-lemburan kerjain tugas kalau akhirnya cuma masak di dapur. Hmmm..kalo masih nggak ikhlas dengan jam tidur yang terbuang gara-gara ngerjakan tugas sih, saya nggak akan memilih jadi reporter yang kerjaannya nulis bukannya nggambar seperti yang diajarkan di kuliah.

Bapak saya pernah bilang. Kuliah itu membentuk karakter pemikiran kamu. Seperti misalnya bank umumnya merekrut sarjana teknik untuk recruitmen sekelas manager, sedangkan sarjana bidang keuangan justru di tempatkan di posisi yang tidak vital. Ini karena sarjana teknik terbiasa berpikir logis.

Perbandingan yang sama dengan saya. Meski saya seorang ibu rumahan. Tapi saya seorang ibu rumahan sarjana teknik arsitektur. Yang diajarkan ilmu bangunan, lingkungan, hingga desain. Selain dipakai dalam bidang arsitektur, ilmu itu juga terserap pada perilaku sehari-hari. Utamanya dalam mendidik anak. Contohnya lebih menjaga lingkungan dengan berusaha mengurangi sampah tidak terurai dan hemat air.

Dan sebenarnya apapun bidang pendidikan yang ditempuh, seorang ibu masa kini haruslah terdidik dengan baik. Karena dia akan mendidik dan menjadi panutan generasi bangsa selanjutnya. Coba amati saja cara mendidik ibu yang terdidik dengan ibu yang nggak sekolah. Passsti beda. Nggak percaya? silahkan amati dan simpulkan sendiri ya.

Cibiran

Ibu rumahan seringkali identik dengan pengangguran, pemalas, dan penggosip. Ahhh...yang terakhir itu nggak keren sama sekali. Dan sebenarnya ketiga anggapan itu nggak bener loh. Kerjaan rumah itu banyak sekali, apalagi yang tanpa pembantu ya. Pemalas itu juga relatif ya. Tapi rasanya kalo semua pekerjaan rumah beres ya berarti nggak pemalas dong ya. Nah kalau sudah penggosip ini tergantung dari kebersihan hati masing-masing. Kalo udah mental biang gosip mau di rumah di kantor ya tetep nggosip. Dan tidak semua ibu rumahan doyan gosip ya. Sejauh pengalaman saya di lingkungan tempat tinggal saya, semua ibu-ibu rumahan nya cukup beretika dan ga ada tuh yang namanya biang gosip.

Pengasuh

Ini nih poin yang paaliing dipusingkan working mom. Sepakat dongg working mom yang baca. Hehehe. Dan jujur alasan saya resign adalah saya nggak  mau menitipkan anak saya pada pengasuh. Mau itu saudara sendiri, neneknya, dan apalagi seorang pembantu atau baby sitter bersertifikat. Hm...jangankan menitipkan anak berjam-jam ketika kerja, membayangkan momen dadah2 saat saya berangkat kerja dan anak saya nangis kejer ga mau ditinggal, ini sudah meluluhlantakkan mental keibuan saya. Saya nggak sanggup. Titik!

Alasan kenapa saya nggak mau menitipkan ke pembantu atau baby sitter ya sudah bisa ditebak lah ya. Karena saya nggak bisa dengan mudah percaya begitu saja dengan orang lain. Sedangkan saudara dekat atau jauh nggak ada yang bisa diandalkan untuk mengasuh.

Nenek bisa jadi pilihan paling baik dibanding saudara atau pembantu.  Tapi ya masa iya to saya maw minta tolong lagi sama ibu saya. Jasanya mendidik dan membesarkan saya itu sudah luar biasa hebatnya. Saya masih berhutang banyak pada orangtua saya, yang sepertinya sampai mereka wafat pun nggak akan sanggup saya balas. Lalu apa iya saya masih mau minta tolong lagi untuk membesarkan dan mendidik anak saya.

Coba bayangkan. Kita aja nih ya yang masih lebih mudah dari ibu kita nggendong anak kita sekian jam aja rasanya udah pegel apalagi ibu kita yang udah 2x lipat usianya dibanding kita. Biarlah nenek kakek anak-anak saya bebas menyayangi cucunya dengan caranya sendiri tanpa terbebani ganti popok, nyuapin dan gendong kesana kemari.

Mendidik anak itu memang tidak mudah. Tapi itulah tugas utama orangtua bukan. Saya memang nggak punya pengalaman jadi ibu, tapi toh semua itu harus dan sudah dilalui orangtua saya dulu. Nyatanya mereka berhasil membesarkan saya sampai sekarang. Jadi sebenarnya siap nggak siap ya saya harus siap bukannya melempar kembali tanggungjawab itu lagi ke orang yang sudah lebih berpengalaman seperti orangtua saya

Kebetulan saya tinggal jauh dari orangtua saya dan mertua. Jadi pemisahan peran itu tegas. Tapi buat yg masih tinggal sama mertua atau orangtua pasti susah ya. Susahnya kalau beda pendapat tentang pengasuhan anak. Saya bersyukur sih saya nggak mengalaminya. Dan baik ibu maupun ibu mertua membebaskan saya menikmati momen menjadi pengasuh anak sendiri.

Lagipula Allah menciptakan umatnya bergenerasi-generasi. Bukannya tumplek blek di satu masa untuk kemudian habis dan selesai. Dan karena itulah saya yakin setiap ibu punya masanya sendiri. Kalau toh di jaman ibu kita dulu mpasi dini dan gula garam dihalalkan untuk bayi, saat kita jadi ibu lain lagi. Begitu pula saat jadi nenek nanti, saya tetaplah nenek, bukan ibu dari cucu saya.

Bosan

Sebenarnya dari sekian banyak yang saya jabarkan di atas ketakuan terbesar saya kalau resign adalah ini. Bosan. Di awal-awal resign saya sempet merasakannya. Selain karena masih adaptasi, hormon kehamilan membuat saya moody. Alhasil yaa uring-uringanlah saya.

Yaaa..bayangkan aja yang awalnya sibuk berubah drastis jd di rumah aj. Ditambah lagi tinggal di kota orang yang notabene temen saya ya cuma temen kerja aj. Mau ngajak jalan2 di weekday ya jelas ga bisa lah wong mereka kerja.

Untuk membunuh rasa bosan saya coba ambil job freelance yang ternyata lumayan memakan waktu istirahat dan pikiran saya. Maunya sih kerjaan freelance ini selesai sebelum saya melahirkan. Eh nyatanya nggak bisa jadi kerjaan freelance ini bersambung sampe aga hampir 6bulan. Alhasil saya memang nggak sempet bosan lagi tapi jadi kehabisan energi. Dampaknya saya uring2an lagi. Dan yang kasihan Aga karena saya jadi berharap dia tidurnya lama ga rewel dan saya jadi males ngajak main. Setelah tanggungan kerjaan itu selesai, saya mulai lebih selektif milih kerjaan freelance. Kalau freelance tapi nyatanya pikiran nggak bisa free alias jadi terbebani kan jadi nggak asik. Akhirnya saya pilih bikin bisnis sendiri. Bisnis online shop kecil-kecilan biar punya "mainan" selain Aga. Hehe (next semoga bisa cerita bisnis ini ya :) )

Saatnya Aga mpasi (makanan pendamping asi) saya makin sibuk. Saya bersiap dengan googling tentang mpasi. Setiap hari, setiap minggu harus mikir mau mencoba bahan makanan apa. Selalu was2 melihat ada tidaknya reaksi alergi. Memutar otak cari cari resep biar Aga lahap. Bersabar kalau Aga malas makan gara-gara mau tumbuh gigi. Memilihkan makanan dengan serat seimbang biar pub Aga lancar. (next saya cerita soal puppy ya)

Belum lagi masalah tumbuh kembangnya. Aga termasuk yang woles. (next saya juga akan cerita tumbuh kembangnya. Banyak cita2 cerita ya. Semoga kesampean. Sok sibuk deh. Heee). Jadi saya harus rajin-rajin memberi stimulus. Mengajari tengkurap, bersabar dan terus melatihnya merangkak, melatih dan menjaganya saat belajar berdiri dan hingga sekarang berjalan.

Yang nggak kalah asiknya ya ngajak aga main. Buat anak kecil bermain adalah belajar. Jadi saya pilih mainan bukan hanya sekedar mobil-mobilan, tapi juga mainan edukaif seperti puzle dkk. Mainan sederhana seperti memasukkan bersachet2 kopi ke dalam toples juga mengasyikkan. Yang terpenting melihatnya tertawa, hilang sudah rasa bosan saya :)

* * *

Dari yang saya jabarkan di atas intinya saya hanya ingin lebih damai menghayati peran saya sebagai ibu. Ibu yang meski kelelahan menyiapkan keperluan keluarganya tapi bisa dengan puas menikmati tawa anak-anaknya tanpa harus terikat dengan jadwal pakem di kantor.

Buat saya, hidup di dunia bukan berarti hanya untuk mengejar dunia. Saya hanya ingin memastikan anak-anak saya mendapatkan pendidikan yang layak, pantas, baik, yang tidak hanya berasal dari sekolah formal saja tapi utamanya dari lingkungan keluarga dan orangtua pastinya. Karena anak-anak bukan hanya amanah yang harus kita bina dengan penuh tanggung jawab tapi juga investasi di kubur nanti.

Bukankah terputus semua amalan manusia saat mati kecuali salah satunya doa anak yang sholeh sholehah.  Dan semoga saya dimampukan Allah serta selalu dibimbingNya dalam mendidik anak-anak saya menjadi anak yang sholeh dan sholehah. Amiin




1 komentar:

  1. Hi Ibu Aga ? Apa kabarnya sekarang ? Aga udah besar ya ?

    From Bunda P Al Azhar

    BalasHapus